Rabu, 26 Maret 2008

Heat Treatment – Pendahuluan

Apa itu “Heat Treatment”?, bagi kita yang sudah pernah atau berhubungan dengan material besi dan baja, tentu tidak terlalu asing dengan istilah ini. Dari kata “Heat Treatment” sendiri jika diterjemahkan secara bebas dapat berarti “perlakuan panas” dan secara terminologi dapat diterjemahkan sebagai “proses pemanasan besi atau baja hingga temperatur tertentu untuk mendapatkan sifat material besi atau baja sesuai dengan yang kita inginkan”.

Pada prakteknya aplikasi “Heat Treatment” ini sendiri juga bermacam-macam, tergantung dari sifat atau karakteristik akhir yang kita inginkan. Tujuan umum dari proses “Heat Treatment” ini adalah untuk mengeraskan, melunakkan, merubah ukuran butir, menghilangkan tegangan dalam besi atau baja. Tujuan yang beragam inilah yang menghasilkan metode “Heat Treatment” yang berbeda-beda.

Ada beberapa metode proses “Heat Treatment” yang dikenal kalangan industri besi atau baja, seperti; Hardening, Tempering, Annealing, Normalizing. Tiap proses tersebut memiliki perbedaan dari segi temperatur pemasanan yang diberikan pada besi atau baja serta metode pendinginan setelah pemanasan tersebut. Untuk lebih jelasnya tiap metode tersebut akan kita bahas di bagian berikutnya.
Selain metode proses “Heat Treament” diatas, kita juga mengenal metode proses “Heat Treatment” yang dilakukan hanya untuk memodifikasi permukaan besi atau baja, jadi proses pemanasan dan pendinginan tidak ditujukan ke seluruh bagian besi atau baja, namun hanya ditujukan pada bagian permukaannya saja. Metode yang dikenal diantaranya; Carburizing, Induction Hardening, Nitriding, Nitrocarburizing. Metode-metode tersebut dikenal dengan nama “Surface Hardening”.

EDM, Yang Perlu Anda Ketahui (Bag.2)

Metode Utama EDM
Pada dasarnya ada 3 metode utama proses EDM yang dapat diuraikan sebagai berikut;

  1. Wire EDM, dimana elektroda terbuat dari kawat brass dan dihubungkan dengan penahan dari intan, selanjutnya dibuang setelah digunakan. Kawat tersebut dikontrol menggunakan CNC yang memungkinkan pembuatan program jalannya kawat tersebut. Ukuran kawat dapat bervariasi mulai dari diameter 0,3 – 0,02 mm. Jenis EDM ini memiliki akurasi tertinggi dengan tingkat kepresisian hingga 0,0025 mm.
  2. Sinker EDM, dimana elektroda dibentuk melalui proses permesinan dari material seperti graphite, tembaga, atau tembaga-tungsten yang akan digunakan untuk meng-erosi benda kerja yang berhadapan dengannya. Proses ini juga memiliki tingkat akurasi tinggi dan umumnya digunakan untuk membuat roongga pada Mould.
  3. Small hole EDM drill ("Hole Popper"), dimana elektroda terbuat dari tabung brass atau tembaga memiliki diamter yang berkisar antara 0,1 – 6,35 mm yang digunakan untuk melubangi benda kerja. Proses ini mirip dengan Sinker EDM kecuali bahwa sinkers memiliki tingkat sensifitas power supplies yang tinggi untuk melindungi dan menjaga elektroda dan pada bagian popper power supply besar untuk melubangi benda kerja dengan cepat. Jenis EDM berhubungan dengan wire EDM dimana setelah lubang dibuat dapat diumpankan kawat dengan proses Wire Cut EDM untuk melakukan pemotongan.

Karakteristik Permukaan Benda Kerja Hasil EDM
Permukaan benda kerja hasil EDM akan mengalami perubahan baik di permukaan benda kerja atau di sub-permukaan. Perubahan tersebut memberikan penampilan adanya lapisan yang memiliki karakteristik berbeda, yang pada umumnya terdiri atas 2 lapisan yaitu; lapisan ”re-cast” atau ”white layer” dan lapisan HAZ (”Heat Affected Zone”). Selain itu terdapat satu lapisan lagi yang umum terdapat di permukaan hasil EDM yaitu ”re-deposited layer”
”White layer” merupakan lapisan yang telah dipanaskan hingga titik cair, namun tidak cukup panas untuk dapat ter-erosi dan tersapu oleh cairan dielektrik. Proses EDM sebenarnya merubah struktur metalurgi dan karakteristik pada lapisan ini saat terbentuk oleh cairan logam yang tidak tersapu namun mengalami pendinginan cepat oleh cairan dielektrik. Lapisan ini memiliki beberapa partikel yang telah membeku dan ter-deposit pada permukaan sebelum sempat tersapu keluar yang disebut ”re-deposited layer”. ”White Layer” memiliki banyak kandungan karbon.

Pengkayaan karbon (”carbon enrichment”) terjadi ketika hidrokarbon dari elektroda dan cairan dielektrik pecah saat proses EDM dan menyusup ke dalam ”white layer” ketika lapisan material tersebut berada dalam kondisi cair.
Di bawah lapisan ”white layer” adalah lapisan ”Heat Affected Zone”. Lapisan ini terkena pengaruh pengkayaan karbon paling minimal, karena temperatur yang diberikan tidak sampai titik cair. Pada titik ini, “Heat Affected Zone” dapat mempertahankan struktur metalurgi material asal karena panas yang diserap tidak sampai merubah struktur. Di bawah “Heat Affected Zone” adalah material asal dan daerah ini tidak terkena dampak proses EDM.
Yang perlu diperhatikan dari proses EDM adalah kemungkinan terjadinya “microcracking” yang umum terjadi di lapisan “white layer”. Efek EDM pada permukaan benda kerja diakibatkan beberapa faktor seperti;

1. “Thermal Stress” yaitu tegangan akibat panas saat siklus “on time” proses EDM.
2. “Voltage, Amperage, On time, Duty Cycle” yang makin besar menyebabkan kedalaman dan jumlah “microcracking” yang makin besar.
3. Logam dengan sifat konduktivitas panas tinggi memiliki lebih sedikit “white layer” dan “microcracking” dibanding logam dengan sifat konduktivitas panas lebih rendah.

Untuk meminimalisir terjadinya “microcracking” ini adalah dengan mengontrol “voltage, amperage, on time, duty cycle” dari kondisi untuk “roughing” ke kondisi “finishing”.

Rangkuman
Proses EDM merupakan teknologi proses yang penggunaannya untuk material-material keras dan membentuk profil yang rumit (kompleks). Proses ini melibatkan penggunaan aliran listrik untuk memotong atau meng-erosi material lewat pencairan material yang dilewati elektroda EDM. Hasil proses ini merubah struktur pemukaan material asal akibat pengaruh panas yang diberikan. Adapun kondisi permukaan hasil EDM dapat dikontrol melalui pengaturan ”voltage, amperage, on time, duty cycle” yang diberikan.

EDM, Yang Perlu Anda Ketahui (Bag.1)

Topik Ulasan :
· Latar Belakang Munculnya EDM
· Apa Itu EDM ?
· Bagaimana Cara Kerja EDM ?
· Metode Utama EDM
· Karakteristik Permukaan Benda Kerja Hasil EDM
· Rangkuman

Latar Belakang Munculnya EDM
Munculnya Electric Discharge Machining (yang selanjutnya hanya akan disebut ‘EDM’) tidak dapat dilepaskan dari munculnya teknik “spark erosion” oleh ilmuwan Inggris Joseph Priestly sekitar tahun 1770an, namun baru pada tahun 1943 teknik tersebut dikembangkan untuk keperluan permesinan oleh ilmuwan Rusia, selanjutnya komersialisasi EDM terjadi pada tahun 1970 – 1980.
Saat ini EDM digunakan untuk memotong atau meng-erosi material keras dan logam dengan tingkat kepresisian pemotongan yang tinggi.

Apa Itu EDM ?
EDM merupakan proses permesinan yang utamanya digunakan untuk memotong atau meng-erosi material keras yang sulit dikerjakan menggunakan teknik permesinan tradisional. Akan tetapi, ada satu keterbatasan proses ini yaitu EDM hanya dapat bekerja pada material yang bersifat konduktif (“electrically conductive”) dimana alasannya akan kita ulas selanjutnya.
Proses EDM ini merupakan proses panas yang melibatkan pencairan dan penguapan benda kerja. Umumnya digunakan dalam industri Pesawat, Mouldmaking dan Diecasting untuk proses permesinan Baja Tool Steel yang sudah dikeraskan.
EDM terkadang disebut “spark machining” karena metode ini memotong atau meng-erosi logam dengan menghasilkan aliran listrik berulang antara elektroda dengan bagian logam yang sedang dikerjakan. Bagian material yang terpotong atau ter-erosi disapu oleh air yang mengalir secara kontinu. Air ini disebut cairan dielektrik (”dielectric fluid”) yaitu air yang telah mengalami de-ionisasi.
Aliran listrik berulang atau ”spark” ini akan memotong atau membentuk profil tertentu pada benda kerja hingga bentuk akhir diperoleh.

Bagaimana Cara Kerja EDM
Proses EDM menggunakan aliran bermuatan listrik untuk memotong atau meng-erosi material dari material induknya, dengan tiap lompatan listrik (”spark”) menghasilkan temperatur antara 10.000 – 20.0000C. Akibatnya benda kerja akan mendapat ’daerah terkena panas’ atau HAZ (”Heat Affected Zone”) di bawah lapisan pembekuan hasil pemotongan EDM. Dapat dikatakan bahwa proses EDM merubah permukaan dan sub-permukaan benda kerja.
Untuk menghasilkan aliran listrik yang dapat memotong atau meng-erosi benda kerja diperlukan hubungan antara 2 material yang sama-sama dapat dialiri listrik, yang pertama adalah elektroda yang digunakan yang terhubungkan dengan polaritas negatif dengan benda kerja yang dihubungkan dengan polaritas positif. Adanya perbedaan polaritas ini yang menyebabkan terjadinya aliran muatan listrik yang dengan mata telanjang terlihat sebagai ”spark”. Alasan ini jugalah yang mengharuskan material yang akan diproses menggunakan EDM haruslah material yang bersifat konduktif.
Proses EDM pada umumnya dilakukan dalam cairan dielektrik (”dielectric fluid”) yang berfungsi untuk :
Mengalirkan material yang terpotong agar tidak terperangkap dalam celah hasil pemotongan.
Berfungsi sebagai pendingin untuk meminimalisir daerah terkena panas atau HAZ (”Heat Affected Zone”) yang dengan sendirinya mengurangi kerentanan benda kerja terhadap retak.
Berfungsi sebagai konduktor agar arus listrik dapat mengalir antara elektroda dengan benda kerja.

Besi dan Baja

Besi dan Baja Dalam kehidupan kita sehari-hari penggunaan besi dan baja (kedua jenis ini termasuk dalam golongan logam) sudah merupakan hal yang lumrah, dimana-mana dalam aplikasi kehidupan sehari-hari ditemui banyak penggunaan material tersebut, seperti dalam aplikasi industri manufaktur, makanan dan minuman, peralatan rumah tangga dan pertukangan, serta konstruksi.Tetapi pada kenyataannya, sebenarnya istilah besi dan baja memiliki perbedaan yang cukup besar, walaupun unsur penyusun sama antara kedua jenis material ini namun dalam aplikasi memiliki perbedaan cukup signifikan.
Pada prinsipnya besi dan baja memiliki satu unsur utama yang sama yaitu unsur Fe (Ferrous) dengan campuran C (Carbon). Perbedaan terutama terletak pada kandungan karbon dimana pada material baja kadar karbon yang diijinkan adalah di bawah 2% sedangkan untuk kadar karbon diatas 2% dikategorikan pada material besi.Karbon yang menjadi pembeda ini menghasilkan perbedaan yang cukup kentara karena karbon menghasilkan sifat kekuatan namun kadar yang terlalu tinggi memberikan sifat getas (mudah pecah), karena itu baja dengan kadar karbon lebih rendah memberikan kekuatan lebih rendah namun keuletan lebih tinggi atau dengan kata lain lebih tahan terhadap kegetasan.
Dengan perkembangan teknologi dewasa ini, banyak penggunaan besi dan baja mulai digantikan dengan material pengganti misalnya (masih dalam kelompok logam) aluminium, serta perkembangan plastik (kelompok non logam) yang semakin hari semakin menggantikan peranan logam dengan cukup signifikan (tentu saja bukan untuk aplikasi yang harus menggunakan besi atau baja).
Besi dan baja pun dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan mikrostruktur dan alat canggih yang mampu “membedah” suatu material hingga tingkat nanomikron. Penemuan unsur-unsur alam yang digunakan sebagai paduan juga mempengaruhi perkembangan material besi dan baja ini.

Heat Checking Yang Terjadi Pada Proses Die Casting

I. Die Casting Heat Checking

"Heat Checking” merupakan penyebab kegagalan umum pada Dies proses Die Casting terutama yang terbuat dari baja H-13 dan biasanya disebabkan oleh peristiwa “Over Stressing” atau “Thermal Fatigue” pada baja yang digunakan.
“Thermal Fatigue” ini disebabkan oleh pergantian Pemanasan dan Pendinginan permukaan Die, sehubungan dengan terjadinya “Thermal Shocks” akibat masuknya material cair Die Casting (dalam hal ini umumnya Aluminium cair).

Heat Checking” yang berlanjut dapat mengakibatkan Crack atau Cavitation dari permukaan Die ke dalam baja yang pada akhirnya dapat menyebabkan Die menjadi pecah.
Gambar 1 menunjukkan tampilan “Heat Checking” pada Dies proses Die Casting. Terlihat adanya garis-garis retakan halus pada permukaan.




Gambar 1. Tampilan “Heat checking” pada Dies proses Die Casting. (Dokumentasi PT.TIRA AUSTENITE,Tbk )


II. Mekanisme Heat Checking

Ketika Aluminium cair diinjeksikan ke dalam Die. Permukaan Die mengalami pemanasan secara cepat hingga temperatur dekat dengan Aluminium cair. Hal ini menyebabkan Ekspansi pada permukaan Die. Akan tetapi Interior dari Die akan tetap dingin, menahan Ekspansi dan menyebabkan “Compressive Stress” pada permukaan Die.
Sesaat kemudian, saat Aluminium mulai mendingin, panas mulai merambat dari permukaan ke Interior Die.

Saat pembekuan, Aluminium yang mulai membeku akan mulai ’terpisah’ dari permukaan Die, membatasi “Heat Transfer” dari Aluminium.
Waktu Aluminium yang beku dan berbentuk Part dikeluarkan dari Die, permukaan Die akan mendingin secara cepat, menyebabkan Kontraksi. Akan tetapi, karena Interior Die sekarang lebih panas dari Permukaan Die, maka Kontraksi Permukaan akan terhalang. Inilah yang menyebabkan Tegangan Tinggi pada permukaan Die. Jika proses ini berulang-ulang pada akhirnya akan menyebabkan “Heat Checking” yang merupakan akibat proses “Thermal Fatigue”.



III. Penanganan

Heat Checking” yang terjadi sebelum waktunya umumnya disebabkan proses Preheating dimana temperatur Preheating kurang tinggi, untuk Aluminium cair dengan temperatur cair ± 500 – 600 derajat Celcius membutuhkan Preheating hingga mendekati temperatur Aluminium cair (sekitar 400 derajat Celcius). Dengan proses Preheating yang tepat dapat memperpanjang umur Die atau setidaknya menyamai jumlah Shot standar Part yang dibuat.